Maksudnya: Sesungguhnya orang yang teguh pikirannya adalah orang yang seimbang dan teguh menghadapi suka dan duka, orang yang demikian itulah yang akan mencapai kehidupan yang bahagia dan kekal.
KEHIDUPAN umat adalah pada abad tehnologi dan informasi ini, dinamikanya amatlah fluktuatif. Lonjakan dan empasan suka duka amat tajam. Cepat beredarnya informasi, komunikasi, transportasi, pariwisata, iptek dan juga peredaran perdagangan menyebabkan kehidupan ini amat dinamis. Umumnya masyarakat memandang suka itu sebagai anugrah Tuhan dan duka hukuman Tuhan. Padahal semua agama meyakini bahwa Tuhan itu maha pelindung, maha pengasih lagi penyayang, maha penyelamat dst. Kalau keyakinan itu dikuatkan dalam sanubari tidaklah mungkin orang ada orang menderita duka, pasti dalam keadaan suka terus karena Tuhan pasti melindungi dan mengasihi. Apalagi Tuhan itu maha kuasa dan tidak ada yang dapat melampaui kemahakuasaan Tuhan. Mengapa ada pandangan bahwa suka itu karunia Tuhan dan duka hukuman Tuhan. Suka atau senang itu bukan tujuan hidup. Suka dan duka adalah akibat dari perbuatan. Tujuan hidup manusia adalah kebahagiaan. Kebahagiaan itu berada di atas suka dan duka seperti yang dinyatakan dalam Sloka Bhagavad Gita yang dikutif di atas. Suka kalau tidak dipahami dengan mental yang tangguh dan moral yang luhur dapat membuat orang GR atau gede roso dan mabuk.
Kekawin Nitisastra IV.19 sudah diingatkan bahwa ada tujuh hal dapat membuat orang senang seperti berwajah cantik atau ganteng, berilmu, kaya, keturunan bangsawan, bertenaga muda, memiliki keberanian. Namun semuanya itu bisa membuat orang mabuk. Kalau tidak mabuk orang itulah yang disebut orang yang utama. Peringatan Nitisastra ini sebagai upaya untuk mengingatkan manusia agar jangan terjerembab oleh keadaan yang menyenangkan indrianya. Dalam keadaan suka, orang sering lebih menonjolkan ego indriawinya menerima rasa suka itu. Senang menerima suatu keberhasilan tentunya sangat logis dan manusiawi. Namun senang itu hendaknya diterima dengan sikap yang rational, karena dibalik senang itu ada tanggung jawab untuk memelihara suatu yang membuat senang itu. Setidak-tidaknya mempertahankan keberhasilan yang membuat senang itu.
Mempertanggungjawabkan suatu keberhasilan tidaklah mudah. Karena itu senang atau suka itu jangan membuat kita berhenti pada berpuas diri. Rasa senang tanpa dikendalikan oleh daya spiritual dan kecerdasan intelektual dapat membuat orang kehilangan kewaspadaan. Demikian juga halnya dengan duka atau sedih harus diterima dengan sikap yang seimbang dengan daya spiritual dan kecerdasan intelektual. Ada kata-kata bijak mengatakan bahwa kegagalan itu adalah awal dari kesuksesan. Tentunya tidak setiap kegagalan awal dari kesuksesan. Amat tergantung dari cara menerima kegagalan itu. Kalau kegagalan itu di study dan analisa secara baik. Hasil studi dan analisa itu dijadikan dasar mengatasi kegagalan tersebut. Hal itulah yang amat besar kemungkinannya kegagalan itu sebagai awal dari kesuksesan. Dalam praktek bisnis menjadikan kegagalan itu sebagai awal kesuksesan disebut dengan istilah ''mistik produktif'' yang maksudnya belajar dari kesalahan.
Konon banyak perusahan besar yang sampai ''go international'' karena mau belajar dari kesalahan. Banyak orang-orang besar di dunia ini karena belajar dari kesalahan dan tidak takut menderita duka. Duka yang diterima dengan cerdas dan tenang itulah akan berbuah kesuksesan. Duka yang diterima dengan kebodohan dapat sebagai penyebab frustasi, kecewa, putus asa dan sejenisnya bahkan dapat mendorong orang bunuh diri. Karena itulah Bhagawad Gita mengingatkan untuk menerima suka-duka dengan ''sama dan dhira''. Kata ''sama'' dalam bahasa Sansekerta artinya seimbang sedangkan kata ''dhira'' artinya teguh atau kuat mental. Orang akan seimbang dan teguh menerima suka dan duka apabila ia menganggap suka dan duka itu kedua-duanya sebagai karunia Tuhan. Orang tidak mungkin mendapatkan suka atau duka kalau tidak berkarma yang menurut ajaran Karmaphala berbuah suka atau duka.
Meskipun Tuhan menurut keyakinan agama maha kuasa tetapi tidaklah sewenang-wenang melaksanakan kemahakuasaan-Nya itu. Tuhan sudah menciptakan hukum Karmaphala. Dalam Sarasamuscaya 74 ada dinyatakan: mamituhwa ri hana ning karmaphala. Artinya. Percaya akan kebenaran ajaran Karmaphala. Dalam sloka Sarasamuscaya ini dinyatakan ada tiga pengendalian prilaku pikiran. Salah satunya adalah tidak boleh tidak yakin akan kebenaran ajaran Karmaphala itu. Ini artinya tidak mungkin orang mendapatkan suka atau duka kalau tidak pernah berbuat yang berpahala, suka dan duka. Tuhan pasti selalu melindungi umatnya dari derita kalau ia tidak pernah berbuat yang membuat duka. Misalnya kalau ia pernah membuat orang lain duka, Tuhan pasti membiarkan orang tersebut suatu saat mendapatkan duka sebagai buah perbuatannya membuat orang lain duka. Karena kalau tidak dibiarkan mereka memetik buah karmanya dia akan terus dikotori oleh perbuatan membuat orang duka.
Demikian sebaliknya kalau orang berbuat membuat orang lain senang berdasarkan Dharma tentunya Tuhan tidak mungkin menghalangi orang tersebut memetik buah karmanya berbuat baik membuat orang lain suka berdasarkan Dharma. Ini artinya orang kena duka itu adalah atas karunia Tuhan untuk membersihkan yang bersangkutan dari dosanya. Paradigma penerimaan duka seperti itu akan membuat dampak psykhologis yang baik. Seperti tidak perlu dendam pada mereka yang membuat kita duka. Kalau memang tidak sepantasnya kita kena duka Tuhan pasti melindungi kita seandainya ada usaha orang lain membuat kita duka. Ini bukan berarti kita demikian pasif menyikapi perbuatan jahat orang lain. Kalau tingkat kejahatannya sudah sampai menyentuh ranah hukum maka hal itu wajib diproses sesuai dengan hukum yang berlaku. Proses hukum itu dilakukan bukan karena dendam, tetapi untuk kebaikan semua orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar